Sial. Sial. Sial. Masa bodoh dengan dunia.
Aku terus berlari meninggalkan pemakaman itu. Meninggalkan orang-orang dan segala kepalsuan yang mereka pasang dalam bentuk topeng dukacita. Membiarkan hujan membasahiku, berharap kepahitan yang kurasakan sekarang akan luruh dalam basuhan air. Mengabaikan teriakan Ibu. Kalau memang mereka memang peduli mengapa hanya diam? Mengapa tidak mencegahku pergi? palsu. Atau mungkin aku masih belum bisa menerima kenyataan bahwa ayah sudah tidak ada. Ayah sudah pergi. Walaupun aku masih bersyukur dengan kenyataan bahwa ayah meninggal saat sedang mengajar. Yah, itu salah satu cara pergi yang baik, kan?
Masih ada Ibu, tentu. Tapi kau tahu kan bagaimana pentingnya seorang ayah bagi anak laki-laki berusia tiga belas tahun? Aku tidak bisa berteriak-teriak seperti orang gila saat menonton sepakbola bersama Ibu. Aku tidak bisa memancing berdua dengan Ibu seperti yang kulakukan dengan ayah. Yeah, wajar kan kalau aku benar-benar kehilangan Ayah? Kami berdua sangat dekat dulu. Terkadang aku membantunya memeriksa hasil pekerjaan mahasiswanya. Dengan bantuan kunci jawaban, tentu. Dan Ayah memberiku sedikit bayaran atas bantuanku kepadanya. Ayah selalu mengajarkan bahwa kita harus bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu.
Kecipak air terdengar lebih keras dibandingkan titik air menghantam tanah. Awan gelap bergulung diatas, seolah mengisyaratkan bahwa rinai hujan akan terus berjatuhan ke bumi. Nafasku mulai terputus, terengah. Bahkan aku sudah tidak tahu berapa jauh aku berlari dan dimana aku sekarang. Kakiku mulai terasa sakit. Melihat sebatang pohon, aku memutuskan untuk beristirahat dibawahnya. Menyandarkan kepalaku ke serat-serat kayu yang kuat. Meluruskan kedua kakiku yang nyeri. Memejamkan mataku sejenak, mungkin tertidur beberapa saat. Peduli setan dengan orang-orang di pemakaman. Mungkin aku akan kembali lagi.
“Kau kenapa?”
Sebuah suara halus memecah keheningan. Kaget, kubuka mataku mendadak. Seorang anak perempuan yang berdiri dihadapanku. Mungkin setahun lebih muda dariku. Membawa payung hitam. Baju terusan dibawah lutut berwarna putih, bagian atas tertutup kardigan hitam. Rambut lurus sewarna mahogani yang sedikit mengikal kedalam di ujungnya sebatas bahu. Sosoknya mungil. Tidak lebih tinggi dari aku, mungkin sekitar 150 senti. Sepuluh senti lebih pendek dibandingkan aku. Tapi yang membuatku terdiam adalah sepasang hazelnya yang menatapku polos. Membuatku terdiam selama sepersekian detik yang aneh. Akhirnya aku hanya menggeleng pelan sebagai jawaban.
Lalu gadis itu mengulurkan tangannya. “Aku tahu kau tidak baik-baik saja. Kakimu pasti sakit, kan?” matanya beralih ke pergelangan kakiku yang terlihat agak bengkok. Aku hanya menggumamkan ‘iya’. Belum menyambut uluran tangannya. Menelitinya dari atas kebawah, memutuskan apakah aku bisa mempercayainya atau tidak. Aku tidak mau mempercayai orang yang salah untuk kedua kalinya. Seperti aku mempercayai orang yang seharusnya bisa menjaga ayahku. Tangannya masih terulur, menunggu disambut. Tatapan matanya masih polos seperti sebelumnya. Seolah tidak mengerti arti tatapan sinis dariku.
“Ada apa? Kau tidak mau kakimu diobati?”
“Bagaimana aku bisa percaya padamu?”
Tanpa disangka-sangka ia berjongkok dihadapanku. Tidak terlalu dekat. Tapi cukup dekat untuk membuat debar jantungku lebih aktif dari biasanya. Dan kalimat yang meluncur berikutnya dari bibirnya membatku terkejut setengah mati.
“Ibuku bilang kau bisa menilai seseorang dari tatapan matanya. Sekarang lihat mataku. Apa yang kau lihat disana?”
Kalimat itu. Kalimat yang pernah diucapkan ayah padaku. Walaupun belum pernah kubuktikan. Mencari pembuktian dari kalimat ayah dan bersaha menilai gadis itu, aku menatap hazelnya. Dan yang kutemukan disana hanya sepasang tatapan polos dan ekspresi statis gadis itu. Tidak seperti topeng seperti yang dipakai orang-orang di pemakaman tadi. Walaupun aku tidak mengerti apa artinya, tapi setidaknya lebih baik daripada senyum palsu yang tadi mereka pasang, yang (katanya) untuk menyemangatiku. Dan sepertinya aku bisa mempercayai gadis kecil yang menungguku menyambut tangannya itu. Maka aku berdiri, mengambil tangannya.
“Namamu siapa? Aku Raymond Richardson. Panggil saja Ray.”
“Zania Altair. Zane. Senang bertemu denganmu, Ray.”
Oh geez, gue tau Ray-nya OOC subhanallah. Tapi.. yah, ini draft lama gue yang mendadak gue baca-baca ulang.. dan ya gue tau ini ngegantung =)) Zania Altair's mine, Raymond Richardon is Hanum Salsabila's. Ray PoV. Title credit to The Fray's You Found Me.
num, ntar Ray dibikin emo aja. Lebih ganteng. *APAAN*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar