Selasa, 12 April 2011

Untitled

 Udara Moskow—dingin ya?

 Aku masih tidak mengerti bagaimana aku bisa memilih herbologist sebagai pilihan karir saat kelas lima. Sementara dia memilih apoteker. Bertolak belakang, dimana pekerjaan seorang herbologist adalah berkeliling dunia, meneliti jenis-jenis tanaman. Sementara dia di London, meracik obat-obatan untuk orang-orang yang membutuhkan. Dari dulu aku selalu berpikir bahwa seharusnya dia di Hufflepuff, bukan Gryffindor. Well, tapi rasanya dia memang punya stok keberanian dan kejujuran jauh lebih banyak dari anak-anak Hufflepuff yang lain. Gryffindor yang unik, ya, dia? Perlahan senyumku terkembang saat memori tentangnya menguar dalam otakku. Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat-ingat senyumnya yang selalu membuatku ikut tersenyum. Mengingat suaranya yang cerewet setiap kali aku menghubunginya dengan telepon.

 Rasanya mantelku ini tidak terlalu membantu saat musim dingin di Moskow sedang menggila. Bahkan saat aku sudah di dalam taksi dengan penghangat. Pasti di London tidak sedingin  ini, walaupun disana juga sedang mengalami musim dingin. Setidaknya anginnya tidak seganas ini dan saljunya tidak setebal disini. Well yea, setidaknya dia aman disana. Di London. Tapi.. hng, you know that sort of feeling, right? Tetap merasa khawatir karena kau tidak ada di sisinya,  atau mungkin malah perasaan tidak aman. Merasa lemah. Karena sumber kekuatanmu adalah orang itu, dan ia tidak bersamamu.

 Aku masih ingat pertama kali bertemu dengannya. Benar-benar mengobrol, tidak hanya saling mengangguk saat bertemu di koridor atau bertatap muka di kelas. Saat itu aku masih kelas dua, hanya seorang anak laki-laki yang dibuat frustasi oleh pertengkaran dan kerenggangannya dengan sepupunya. Dan dia hanya anak perempuan sederhana yang tidak mendapat kompartemen di Hogwarts Express. Kami bertemu di bagian paling belakang kereta, dan aku masih ingat ekspresinya yang sedikit kaget—atau malah mungkin ketakutan—mendengar teriakan frustasiku yang sedikit tertahan. Aku tidak terlalu kenal dengannya, hanya tahu bahwa namanya Lilly Springfield dan entah mengapa ekspresi lepasnya saat berteriak membuatku merasa lebih rileks.

 Tahun ketiga adalah saat kami benar-benar bisa berbincang panjang lebar di kandang burung hantu. Saat aku mulai merasakan bahwa bernapas menjadi lebih sulit di sekitarnya. Pembicaraan tentang ikatan dan orang-orang yang dekat dengannya. Hadiah di kandang burung hantu. Mencuri pandang wajahnya saat kelas Transfigurasi dan Arithmancy. Dan bodohnya aku belum menyadari bahwa aku menyukainya. Mungkin bahkan lebih dari sekedar menyukai. Dan aku terus lari dari kenyataan bahwa aku memang menyayanginya. Dan tetap bersembunyi dalam ketakutanku akan sebuah ikatan.


 Tahun keempat, surat-surat yang berdatangan. Pleasure Beach Blackpool bersama Halley dan Resse. Kunjungan Hogsmeade, dan bahkan sejak awal tahun aku sudah menyadari bahwa aku menginginkannya. That obsessive feeling, dan puncaknya adalah malam musim dingin sepulang dari Hogsmeade. Sebuah pertanyaan konyol yang dibalas dengan anggukan gadis itu. I’m officially hers and she’s officially mine. Walaupun tahun kelima tidak terlalu menyenangkan—obrolan dalam keadaan lelah di Hogwarts Express, pelukan sepupunya, pengakuan di taman. Dan untungnya berhasil diakhiri dengan kecupan singkat di Pesta Akhir Tahun.

 Konyol, mungkin, tapi sampai sekarang aku tidak tahu mengapa harus dia. Aku hanya tahu bahwa aku menyayanginya. Sangat. Bahwa dia satu-satunya orang yang bisa membuatku tenang dan khawatir pada saat yang bersamaan, bahwa dia telah memberikanku kekuatan untuk terbang dan menembus batasan-batasan yang diberikan oleh sepupuku. Bahwa aku tidak pernah mau kehilangan dirinya. Bahwa dia milikku yang paling berharga—dan dia sempurna dimataku. Kesempurnaan yang terkadang membuatku merasa tidak pantas jika disandingkan dengannya.

 Lamunanku terputus oleh dering telepon genggam. Senyumku mengembang saat melihat nama penelepon di layar ponselku. Menekan tombol hijau, aku menempelkan ponsel tersebut di telingaku. Bersiap mendengar berondongan pertanyaan dari penelepon.

 “Hey, kau sedang apa disana? Disana musim dingin kan? Tapi kau tidak kenapa-kenapa kan—“

 Dan kalimat-kalimat tersebut kupotong dengan gelak tawa.

 “Hey, hey, easy. Aku sedang duduk di taksi, ya, disini musim dingin seperti disana, dan aku baik-baik saja.”

 “Taksi? Kau memangnya dari mana dan mau kemana? Mau mencari jenis-jenis tanaman lagi?”

 Aku tertawa halus. Celotehannya seperti ini yang biasanya menenangkanku sekaligus membuatku tertawa karena rentetan pertanyaan darinya.

 “Aku menuju bandara kok.”

 “Bandara? Mau pergi kemana lagi?”

 Aku tertawa kecil, membayangkan reaksinya jika mendengar kata-kata yang akan didengarnya dalam hitungan detik.

 “London. Pick me up at the airport, will you? See you there, love.”


Oke, ini Fanfic pertama gue di IH. Main character Valliant Ermintruchee and Lilly Springfield. POV Valliant Ermintruchee. Kenapa ga gue pajang di IH aja? MALU DONG HAHA #plak. Oke, jadi gue pajang sini dulu. Kalo ntar ada yang nyuruh pasang gue pasang. *lirik-lirik follower blog* *digeplak*

ETA: Valliant Ermintruchee (c) Ulil, sisanya? B-) #NAON

2 komentar:

  1. *cek mention di twitter*

    *buru-buru nyambung speedy*

    *baca*

    ...

    ...


    KYAAAA RANEEEHH PASANG DI IH!! PASANG!! >///<
    PASANG GAK, KALAU ENGGAK.. *acung golok* *plak*

    ... -_-

    Ah, iya iya, gue komen ran, komen u__u

    Bagus kok, bagus banget. LEBIH BAGUS DARI FF GUE YANG WAKTU ITU ASTAAGAAA. Vale-nya gak OOC, IMO, Lilly-nya apalagi :3 *IYALAH*

    typo.. sejauh mata gue memandang, kayaknya bersih.

    Ah. Gue udah kayak orang berpengalaman bikin FF aja sampe komen kek gitu. Udah ah, lama-lama malu ._. *CRIC*

    POKOKNYA PAJANG! PAJANG DI IH! PAJAAAANGGG!! *maksa ih*

    BalasHapus
  2. ..Valenya ga OOC? Beneran? Serius? Justru gue ngeri banget Vale-nya OOC u_____u pajang? Ah.. ntar ah. Nungguin Ulil baca, komenin, terus ntar kalo [s]mau[/s] sempet pajang, khekhekhe >:)

    Btw makasih Ra ./////. >:D<

    BalasHapus